willson.com

willson.com
so like

welcome to my forum

hanya mencoba untuk.....

Selasa, 31 Mei 2011

geologi lingkungan daerah gumelar

BAB I
 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
         Penelitian berupa pengembangan konsep eksplorasi mineral logam khususnya emas dan logam dasar akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap komoditi bahan tambang tersebut. Keberadaan hampir semua jenis endapan logam di dunia selalu berasosiasi dengan batuan volkanik dan semua proses pembentukan endapan logam tersebut selalu berkorelasi dengan proses magmatik.
         Dalam hal ini penelitian yang dilkukan berkaitan dengan kegiatan pertambangan pada Lokasi penambangan emas di sebuah bukit, dusun Babakan Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, yang kini terus meluas. Meski kegiatan tersebut tidak memiliki ijin alias penambangan liar, namun belm ada upaya penertiban. Di lereng bukit setinggi seratus meter ini terdapat 20 lebih lubang galian yang dibuat oleh para penambang. Di tempat ini pula ratusan penambang melakukan kegiatan setiap hari. Mereka tanpa merasa takut meskipun dalam keadaan hujan deras dan bisa mengancam bencana longsor di wilayah tersebut. Selain itu, dampak lingkungan yang terjadi pada daerah tersebut antara lain pencemaran air yang diakibatkan oleh material sisa penambangan yang dibuang ke sungai. Dalam jangka waktu yang lama, material sisa penambangan tersebut akan menimbulkan penyempitan lebar sungai karena material sisa penambangan tersebut mengalami proses sedimentasi.

1.2  Tujuan
         Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai dampak lingkungan dari kegiatan penambangan emas di Kecamatan Gumelar, khususnya Desa Paningkaban.

1.3 Manfaat
         Manfaat penelitian ini adalah agar dapat mengetahui berbagai dampak lingkungan dari kegiatan penambangan emas di Kecamatan Gumelar, khususnya Desa Paningkaban.

BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1  Survey Lapangan
Kegiatan survey lapangan ini meliputi pemantauan langsung pada daerah penelitian. Kemudian pada tahap ini dilakukan berbagai pengambilan data, berupa data geologi dan dokumentasi daerah penambangan.

2.2  Studi Pustaka
      Studi pustaka merupakan pengambilan data sekunder dari berbagai literatur yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan tersebut.

2.3  Wawancara
Wawancara adalah kegiatan komunikasi dengan warga sekitar area pertambangan untuk memperoleh data primer kegiatan pertambangan tersebut.




BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kondisi alam Kecamatan Gumelar
         Kondisi alam kecamatan Gumelar adalah dominan alam perbukitan . Jarang sekali ada tanah yang datar dan luas. Sehingga sebagian besar penduduk Gumelar bermukim di lereng-lereng perbukitan, sehingga di Kecamatan Gumelar memang Rawan bencana alam khususnya tanah longsor, dan bencana ini memang juga sudah terjadi beberapa kali dari yang skala kecil sampai yang menelan banyak korban jiwa.
 








Sebagian besar wilayah kecamatan Gumelar adalah terdiri dari tanah kering, hanya sedikit tanah dikecamatan Gumelar yang bisa dimanfaatkan untuk persawahan. Sehingga sebagaian besar tanah di kecamatan Gumelar dimanfaatkan untuk perkebunan baik oleh masyarakat maupun Perkebunan milik PERHUTANI dan Sari Rumpun Antan.
Ada sebuah aliran sungai besar yang merupakan hulu dari sungai terbesar di wilayah Banyumas bagian barat yaitu Sungai TAJUM. Sungai ini berawal dari Desa Samudra kemudian melewati Desa Gumelar, Desa Cihonje dan memasuki wilayah Kecanmatan Ajibarang.
Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi bahan tambang mineral yang bervariasi, umumnya berupa pertambangan rakyat berskala kecil seperti pertambangan rakyat di daerah Paningkaban, yang menjadi daerah penelitian. Wilayah pertambangan paningkaban merupakan salah satu dari beberapa daerah prospek penambangan emas di rangkaian Pegunungan Serayu Utara.
Pada wilayah kecamatan Gumelar, kabupaten Banyumas tersebut Keberadaan desa Paningkaban sebagai salah satu wilayah pertambangan emas rakyat menimbulkan permasalahan tersendiri terkait dengan legalitas aktivitas penambangan, persoalan modalitas, peran lembaga yang disalhtafsirkan keberadaannya, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Keberadaan penambangan emas di daerah paningkaban berkaitan dengan adanya indikasi alterasi dan mineralisasi yang berkembang di daerah ini.
Menurut kutipan data yang kami ambil dari http://gumelar.com/berita/limbahemas.htm bahwa “Ancaman longsor dan munculnya limbah penambangan emas liar di Desa Paningkaban Kabupaten Banyumas ini sudah sangat meresahkan warga. Mereka yang rumahnya berada dibawah lokasi penambangan khawatir jika sewaktu waktu bukit tersebut longsor. Selain itu limbah pembuangan emas yang mengalir ke sungai juga menimbulkan penyakit kulit, sehingga kami tak berani menggunakan sungai tersebut,” ujar Suharti (40) warga setempat.
Protes ini sudah pernah disampaikan kepada pemilik penambangan, namun tidak mendapat tanggapan apapun. Bahkan kini areal tanah yang ditambing makin meluas. Tercatat sudah 60 lubang penambangan emas di tanah seluas sekitar dua hektar itu. Areal penambangan ini berada diatas pemukiman penduduk, sehingga sewaktu waktu bisa terjadi longsor”.
3.2 Geologi Daerah Penelitian









Daerah Paningkaban secara administrative terletak di Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Geologi regional daerah penelitian mengacu pada peta geologi Lembar Banyumas (Djuhri M dkk,1996) merupakan bagian dari zona fisiografi Pegunungan Serayu Utara yang merupakan hasil aktivitas pengangkatan zona depresi bandung di Jawa Barat. Secara umum morfologi daerah penelitian berupa perbukitan bergelombang yang berkembang pada cekungan belakang busur tersier sebagai produk subduksi antara lempeng samudera indo-australia menunjam di bawah lempeng benua Asia Tenggara (Asikin dkk,1994) berbatasan pada cekungan Banyumas pada bagian tengah.
Stratigrafi daerah paningkaban tersusun oleh batupasir, batu lempung, napal, tuff dengan sisipan breksi anggota Formasi Halang berumur Miosen Tengah – Pliosen awal. Pada bagian bawah Formasi Halang terdapat perselingan breksi gunung api ( Breksi anggota Formasi Halang ) yang umurnya dapat dikorelasikan dengan batupasir anggota Formasi halang atau lebih dikenal dengan Formasi Rambatan, Miosen Tengah – Miosen Akhir. Satuan batuan ini menumpang secara selaras di atas Formasi Pemali. Formasi Kumbang secara selaras diendapkan diatas Formasi haling, terdiri dari breksi gunung api, lava, tuff, batupasir tufaan berumur Miosen Atas.
Strukstur regional pulau Jawa dikontrol oleh 3 pola struktur utama, yatu pola Meratus berarah timur laut – barat daya, pola Sunda berarah utar – selatan, dan pola Jawa berarah barat – timur. Pulau Jawa khususnya Jawa Tengah, memiliki garis pantai utara dan selatan yang lebih sempit dan masuk dibanding garis pantai utara dan selatan Jawa Barat dan jawa Timur. Hal tersebut menurut Satyana (2009) disebut sebagai gejala indentasi yang dipengaruhi oleh aktivitas tektonik/stuktur regional (struktur indentation). Adanya struktur regional indentasi tersebut, menghasilkan tinggian Karangbolong dan pengangkatan batuan Pra-Tersier Karangsambung. Berdasarkan data peta anomali Bouguer pulau Jawa, seismik geologi bawah permukaan dan SLAR, hal tersebut mengindikasikan adanya aktivitas dua struktur sesar geser besar yang berlawanan arah, yaitu sesar sinistral.
Muria – Kebumen berarah baratdaya-timurlaut, dan sesar dekstral pemanukan – cilacap  berarah baratlaut-tenggara. Daerah penelitian Paningkaban diperkirakan lebih dikontrol oleh keberadaan sesar dekstral pemanukan – cilacap berarah baratlaut-tenggara yang kemudian menghasilakan zona-zona bukaan sehingga memungkinkan larutan hidrotermal bergerak ke arah atas dan bereaksi dengan batuan yang dilaluinya.
a.      Aspek Penambangan
1.      Mineralisasi
        Larutan hidrotermal pemicu terjadinya mineralisasi di daerah ini diperkirakan berasal dari kegiatan magniatisine Miosen - Pliosen yang menerobos daerah ini namun tidak, mencapai permukaan (Soeria Atmadja dkk., 1991), ditandai dengan dijumpainya batuan beku intrusif di sebelah timur daerah penelitian berupa diorit (Tmi(d)) merupakan produk vulkanisme Tersier yang diperkirakan berumur Miosen Akhir (Djuhri dkk., 1996). Menurut Socha Atmadja dkk. (1991), pada periode ini aktivitas magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill dan volcanic neck dengan batuannya berkomposisi andesitik.
        Sejarah panas pembentukan, mineralisasi yang masih dapat diukur dalam inklusi fluida pada kristal kalsit dan kuarsa berkisar antara 175 °C hingga 310 °C dengan kadar Na Cl 0,8 - 3,5 %WT ekivalen. Pada kisaran temperatur ini, fluida dapat mengendapkan emas dan logam dasar, walau tidak terjadi bersamaan atau pada temperatur yang sama. Hal ini sesuai dengan hasil analisis kimia maupun mineragrafi. Analisis kimia memperlihatkan adanya unsur logam emas (Au), Ag, Cu (kalkopirit), Pb (galena), dan Zn (sfalerit). Dimana paragenesa galena dan sfalerit terbentuk lebih dahulu karena memiliki tempertaur pembentukan lebih tinggi.
Di sisi barat sungai K. Arus, baratdaya Kampung Gancang, dijumpai kegiatin pendulangan emas oleh penduduk, dan terdapat bekas kegiatan penggalian batuan dan penggelundungan. Hasil pendulangan emas oleh penduduk setempat menunjukkan butiran-butiran emas yang didapatkan dalam sekali mendulang mengadung butiran emas berukuran pasir sangat halus rata-rata mencapai 5 – 10 biji. Dengan derriklan, mineralisasi emas lebih berkembang pada host rock Formasi Rambatan, yang tersingkap di bagian barat Desa Gancang, sebagai sumber endapan plaser sungai di tepi barat Kali Arus Desa Gancang.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa mineralisasi hidrotermal di daerah paningkaban terbentuk di dalam batuan samping sedimen klastika halus karbonatan. Batuan samping terubah menjadi propilit dan argilit, yang di beberapa tempat dipotong oleh urat-urat kalslt±kuarsa Mineralisasi bijih sulfida tersebar tidak merata dalam batuan samping yang terubah, setempat-setempat terakumulasi balk dalam batuan ubahan maupun dalam urat. Mineralisasi sulfida mengandung emas berasosiasi dengan kalsit dan kuarsa.
Dibandingkan dengan mineralisasi di Daerah lain terutama di Jawa Barat, memiliki persamaan terbentuk pada jalur magmatisme, namun berbeda dalam hal batuan samping, dimana di Daerah Paningkaban ini terbentuk di dalam batuan samping sedimen atau sediment hosted, sedangkan di Jawa Barat batuan sampingnya adalah batuan produk langsung dari gunungapi.

2.      Teknik Pertambangan
Adapun teknik penambangan yang dilakukan pada kegiatan pertambangan di daerah paningkaban ini meliputi beberapa tahapan antara lain.
 


 














Tahap pertama dilakukan pengambilan urat kuarsa secara primer melalui peggalian langsung berupa sumur-sumur  dengan kedalaman tertentu untuk mencapai urat yang ada, dan secara sekunder dengan pengambilan langsung emas placer di aliran sungai.
 

                                                                                               






Tahap kedua, pemecahan batuan-batuan hasil galian menjadi ukuran yang lebih kecil, dalam hal ini pemecahan batiuan dilakukan secara manual dengan palu (martil).

Tahap ketiga, dilakukan penggilingan batuan. Pada proses penggilingan ini dilakukan selama kira-kira 2 jam, batuan hasil pemecahan tadi dicampur dengan air raksa yang bertujuan untuk memisahkan  antara material batuan lain yang tak terpakai dengan kandungan pyrite yang masih bercampur dengan emas didalamnya. Proses penggilingan ini dapat dilakukan berulang sampai 3 kali.
 

Tahap keempat, setelah mendapat hasil dari proses penggilingan tersebut yang berupa kandungan pyrite yang masih bercampur dengan lempung. Kemudian diekstrak kembali dengan menggunakan raksa sebagai senyawa pemisah untuk menghasilkan mineral pyrite yang murni.


Tahap kelima, mineral pyrite yang sudah didapatkan kemudian dibakar dengan menggunakan alat pembakar sehingga menghasilkan emas murni yang dapat dihitung kadarnya.

b.      Aspek Lingkungan
1.      Vegetasi











Gambar 3.1 Peta Tata Guna Lahan

Berdasarkan survei yang dilakukan pada daerah pertambangan paningkaban ini adapun aspek lingkungan yang kami dapat berkaitan dengan keadaan vegetasinya bahwa pada titik-titik daerah pada sekitar area pertambangan telah mengalami pembabatan ( kegundulan). Menurut data sekunder yang kami peroleh menunjukkan bahwa daerah pertambangan tersebut termasuk daerah hutan produksi tetap ( Gambar.3.1).
Berdasarkan tata guna lahan yang ada, hasil pembabatan yang dilakukan pada titik-titik penambangan dimanfaatkan kembali sebagai bahan mentah industry meubel sehingga dapat memberikan hasil yang saling menguntungkan. Tetapi faktanya, kegiatan pertambangan tersebut kurang memperhatikan aspek mitigasi dan reklamasinya. Karena pada daerah titik-titik pembabatan tersebut dilakukan penanaman tanaman pangan berupa umbi (singkong) yang dalam hal ini penggunaan tanaman tersebut kurang baik sebagai penahan gerakan tanah, sehingga tetap dapat memicu potensi terjadinya gerakan tanah ( mass movement ) pada daerah tersebut.

2.   Mass Movement
Gerakan tanah/longsoran adalah perpindahan massa tanah/batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. Dalam definisi ini termasuk juga deformasi lambat atau jangka panjang dari suatu lereng yang biasa disebut rayapan (creep). Difinisi yang diuraikan dalam buku ini tidak termasuk aliran lahar dan amblesan/penurunantanah (subsidence) yang di akibatkan proses konsolidasi atau perbedaan kekuatan dari pondasi suatu banguanan.
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng­lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengu­rangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah.
Kontribusi peningkatan tegangan geser disebabkan oleh banyak faktor antara lain phenomena variasi gaya intergranuler yang diakibatkan oleh kadar air dalam tanah/batuan yang menimbulkan tedadinya tegangan air pori, serta tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat. Variasi pembentuk batuan dan tekstur tanah, retakan‑retakan yang terisi butiran halus, diskontinuitas, pelapukan dan hancurnya batuan yang menyebabkan lereng terpotong‑potong, atau. tersusunnya kem­bali butiran‑butiran halus.
Faktor yang berpengaruh pada terjadinya pergerakkan tanah  adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah mening­kat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor. Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng­-lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkait­an dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhati­kan pola‑pola yang sudah ditetapkan oleh pernerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan‑lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan‑lahan baru di lereng‑lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentuk­bentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, indikasi terjadinya longsor pada daerah dipicu oleh penumpukkan sisa hasil gilingan yang dimasukkan ke dalam karung, kemudian ditumpuk pada lereng-lereng yang relatif curam. Hal tersebut menyebabkan penambahan beban pada lereng tersebut sehingga mengurangi kestabilan lereng tersebut.  Kemudian, faktor tingginya curah hujan yang menyebabkan infiltrasi ke dalam lapisan tanah mengakibatan semakin tidak stabilnya lereng tersebut sehingga pada akhirnya dapat menyebakan longsor. Faktor tersebut juga diperkuat dengan adanya erosi dari air hasil proses penggilingan yang terbuang, baik secara infiltrasi maupun berupa aliran pada permukaan. Walaupun alirannya air tersebut relatif kecil, namun apabila terjadi dalam jangka waktu yang lama, akan menyebabkan longsor.

3.      Sedimentasi
Erosi dan Sedimentasi merupakan proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan pengendapan material yang terdapat di tempat lain (Suripin, 2002).
Berdasarkan pengamatan di daerah ini, terjadinya erosi dan sedimentasi tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal, dampak dari erosi tanah dapat menyebabkan sedimentasi di sungai sehingga dapat mengurangi daya tampung sungai. Sejumlah bahan erosi yang dapat mengalami secara penuh dari sumbernya hingga mencapai titik control dinamakan hasil sedimen (sediment yield). Hasil sedimen tersebut dinyatakan dalam satuan berat (ton) atau satuan volume (m3) dan juga merupakan fungsi luas daerah pengaliran. Dapat juga dikatakan hasil sedimen adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Dari proses sedimentasi, hanya sebagian aliran sedimen di sungai yang diangkut keluar dari DAS, sedangkan yang lain mengendap di lokasi tertentu dari sungai. Bahan sedimen hasil erosi seringkali bergerak menempuh jarak yang pendek sebelum akhirnya diendapkan. Sedimen ini masih tetap berada di lahan atau diendapkan di tempat lain yang lebih datar atau sebagian masuk ke sungai.

4.      Pencemaran air
Air merupakan sumber kehidupan di muka bumi ini, kita semua bergantung pada air. Untuk itu diperlukan air yang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Tapi pada akhir-akhir ini, persoalan penyediaan air yang memenuhi syarat menjadi masalah seluruh umat manusia. Dari segi kualitas dan kuantitas air telah berkurang yang disebabkan oleh pencemaran.
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan. Berbagai ma cam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia. Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata.
Pencemaran air dapat menentukan indikator yangterjadi pada air lingkungan. Pencemar air dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Bahan buangan organic
Bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba patogen pun ikut juga berkembang biak di mana hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit.
2.      Bahan buangan anorganik
Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logamdi dalam air, sehingga hal ini dapat mengakibatkan air menjadi bersifat sadah karena mengandung ion kalsium (Ca) dan ion magnesium (Mg). Selain itu ion-ion tersebut dapat bersifat racun seperti timbal (Pb), arsen (As) dan air raksa (Hg) yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
3.      Bahan buangan zat kimia
Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya seperti bahan pencemar air yang berupa sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan penyamak kulit dan zat radioaktif. Zat kimia ini di air lingkungan merupakan racun yang mengganggu dan dapat mematikan hewan air, tanaman air dan mungkin juga manusia.
Dari pengamatan yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa pencermaran air di daerah ini disebakan oleh material sisa penambangan baik berupa lempung sisa hasil gilingan maupun air raksa (Hg) sebagai senyawa pemisah emas dengan batuan.  Polutan tersebut menjadi berdampak negative pada warga sekitar karena tidak adanya upaya untuk menampung polutan tersebut dalam suatu area tertentu, melainkan yang dilakukan oleh penambang adalah dengan membuangnya ke sungai secara langsung melalui parit-parit buatan. Seperti yang kita ketahui bahwa fungsi dari sungai adalah bukan untuk penampungan limbah, karena sungai merupakan salah satu sumber kehidupan. Apabila sungai sungai tercemar dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.


BAB IV
PENUTUP
4.1   Saran dan Kesimpulan

4.1.1        Kesimpulan
              Suatu kegiatan pertambangan secara umum mengakibatkan dampak negative, baik pada masyarakat sekitar maupun lingkungannya. Hal ini terjdi juga pada daerah Paningkaban, kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, dimana dampak yang timbul akibat kegiatan pertambangan emas tersebut antara lain terjadinya degradasi lahan akibat penggundulan lahan, pergerakkan massa tanah akibat penimbunan  / penumpukkan sisa hasil penggilingan batuan, sedimentasi akibat erosi air dari hasil proses penggilingan, dan terjadinya pencemaran air akibat adanya polutan yang digunakan dalam proses penambangan yang kemudian berpengaruh terhadap aliran sungai ( sungai Panaruban ) disekitar area pertambangan

      4.1.2 Saran
              Untuk meminimalisir dampak negative dari kegiatan pertambangan tersebut dapat dilakukan berbagai upaya-upaya yang dapat ditempuh antara lain :
1.      Perlu adanya penanaman kembali lahan bekas tambang, atau lahan bekas sumur galian dengan karakteristik vegetasi yang tepat misalnya tanaman Jati.
2.      Perlu adanya area khusus tempat pembuangan material sisa penggilingan agar tidak berpengaruh pada kestabilan lereng yang memicu terjadinya longsor.
             

DAFTAR PUSTAKA

Asikin S dan Suyoto, (1994) “ IPA Post Convention Field Trip, Banyumas Basin, Central Java” Field Trip Guide Book.
Magetsari, N.A. dan C.I. Abdullah. Catatan Kuliah Geologi Fisik,. Bandung.  ITB.
Montgomery, C., 1990. Environmental Geology. New York. McGraw and Hill Inc
Noor, J., 1996, Geologi Lingkungan. Jogja.  Graha Ilmu.
Sudarsono dkk. 2010. MODEL GENESA MINERALISASHIDROTERMA
DAERAH CIHONJE, KAUTATEN BANYUMAS, JAWA TENGAH. Bandung .LIPI.

Sumber lain :
*      http://phane-geo.blogspot.com












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

slalu ada kesan...